Kerenyahan “Hate Speech” di Tahun Politik
TAHUN politik telah tiba.
Semua elemen yang berkepentingan sibuk menyambutnya, tak terkecuali tim
pemenangan masing-masing kandidat kepala daerah. Di samping penggodokan
program kerja yang hampir matang untuk disajikan, penggorengan isu pun
bisa dikata sudah sampai pada tahap “pemanasan minyak”.
Salah satu
hasil renyah untuk disajikan adalah isu yang berkaitan suku, agama,
ras, dan antargolongan (SARA). Isu yang marak bertebaran di media sosial
tersebut menjadi salah satu sorotan dari dinamika politik pada 2017 di
DKI Jakarta. Sebuah strategi yang ditengarai turut menjadi bagian dari
faktor keberhasilan salah satu kandidat.
Ketika itu, banyak
meme
maupun foto editan yang berbau SARA membanjiri media sosial. Muaranya,
masyarakat tersulut perdebatan pro dan kontra. Bahkan hasil dari
renyahnya isu SARA itu melahirkan hasil akhir yang cukup mencengangkan.
Hasil yang berbading terbalik dari dugaan masyarakat pada umumnya.
Memang,
tidak ada yang secara tegas menyatakan bahwa kemenangan salah satu
pasangan calon tersebut merupakan keberhasilan memainkan isu SARA dan
atau ujaran kebencian di media sosial. Namun, keberhasilan dari strategi
tersebut lebih dikarenakan manipulasi latar belakang salah satu calon
yang berbeda keyakinan dari mayoritas di Indonesia.
Kondisi
politik kebencian berbasis identitas tersebut, menurut pengamat politik
dari Exposit Strategic, Arif Sutanto, dikhawatirkan menjadi preseden
buruk yang dapat membelah masyarakat pada tahun politik 2018 dan 2019.
Apalagi, saat ini media sosial menjadi salah satu tolok ukur
keberhasilan menuju kursi RI 1.
Berdasarkan riset We Are
Social dan Hootsuite 2017, pengguna internet di Indonesia tumbuh 51%
dalam kurun satu tahun dengan presentase tertinggi di Pulau Jawa.
Berdasarkan data tersebut, bukan tidak mungkin skala penggorengan isu
ujaran kebencian di media sosial akan bertambah besar pada perebutan
kursi nomor satu di Pulau Jawa 2018.
Penyebaran ini, tentu tidak
mungkin dilakukan langsung oleh sang tokoh, namun melalui tangan orang
lain yang membantunya. Suatu kondisi yang membuat seseorang
kucing-kucingan dari pribadinya sendiri. Pepatah Jawa mengatakan
“Nabok nyilah tangan”, yang berarti memukul dengan menggunakan tangan orang lain.
Menyikapi
kondisi itu, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) pun menambahakan
ujaran kebencian di media sosial sebagai salah satu indikator Indeks
Kerawanan Pemilu (IKP) 2017 yang belum tertuang dalam IKP 2016. Karena
perlu disadari bahwa suhu kondusivitas akan semakin tinggi pada tahap
pra hingga pasca perhelatan politik digelar.
Sebenarnya, tren
kampanye
berbasis media sosial sudah dimulai pada pemilihan presiden tahun 2014
silam, yakni dengan kandidat Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Pada saat
itu iklim media sosial di Indonesia sedang memasuki masa subur karena
media sosial sudah dianggap sebagai rumah kedua bagi siapa pun yang
memiliki akun.
Media sosial juga dapat dimanfaatkatkan untuk
mendulang dukungan suara, pro, maupun kontra. Ajang saling memuji namun
juga untuk mencaci, serang komentar, bahkan melakukan
bullying (merundung) antarpendukung calon A, B, ataupun C.
Tentu,
iklim politik kini akan jauh berbeda dari era pemilu yang memenangkan
Susilo Bambang Yudhoyono pada 2009, di mana keberadaan media sosial
tidak begitu berpengaruh banyak.
Meski demikian, dampak yang ditimbulkan dari tindakan tersebut tidak hanya mandek
sebelum
dan tepat perhelatan saja, namun berimbas hingga jauh setelah acara
usai. Salah satu contohnya adalah masih tertinggalnya persepsi tentang
“anti calon A, B, ataupun C”. Apapun tindakan yang dilakukan akan
dianggap sebagai sebuah pencitraan dan kelalaian.
Bagi mereka yang
diterpa isu, salah satu dampak negatif dari hal tersebut adalah
ketakutan dan malu menunjukkan diri di muka umum. Hal ini justru malah
memperlicin celah oknum radikal untuk melakukan doktrinasi.
Secara
psikologis, ketakutan akan membentuk pribadi masyarakat yang mudah
berburuk sangka dan reaktif. Tentu nantinya akan mudah dimasuki doktrin.
Karena ketakutan itulah yang membuat orang mau melakukan apa saja.
Termasuk bertindak radikal dan mengancam, entah sebab tunduk terdesak
atau kebingungan mengikuti arus yang orang lain sarankan.
Sungguh
hal ini sangat megkhawatirkan bagi kader masa depan bangsa, apabila
tradisi ini terus bergulir dari generasi ke generasi, yang kian hari
diiringi berbagai kemajuan teknologi. Sayangnya, tindakan ini pun sudah
mulai menjakit di berbagai kalangan, termasuk pada kaum intelektual.
Seperti
kasus Siti Sundari (51 tahun) yang seorang dokter. Ia di akun Facebook
Gusti Sikumbang telah ditangkap oleh Tim Cyber Bareskrim Mabes Polri
karena menyebarkan
meme SARA yang memuat ujaran kebencian terhadap Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto pada Desember 2017 silam.
Jika
disadari, kasus ini merupakan salah satu akibat dari minimnya program
penyadaran literasi media digital dan klarifikasi berita kepada
masyarakat. Seseorang dengan latar belakang pendidikan tinggi pun tidak
menjamin bahwa ia memahami delik pencemaran nama baik dan ujaran
kebencian bernuansa SARA.
Literasi yang dimaksud berupa
pengetahuan yang memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang konten
apa saja yang berpotensi melanggar hukum dan tidak. Agar tidak selalu
menganggap berita yang pertama dibaca sebagai sumber informasi yang
paling benar, tanpa terlebih dulu mengonfirmasi dari sumber lainnya.
Di
samping itu, kondisi tersebut diperkeruh dengan hadirnya agen yang
seenaknya sendiri menyebar konten negatif sesuai kepentingan pemesan.
Lagi-lagi, sebagai akibat ketidakjelasan penegakkan hukum dan rentannya
aturan. Utamanya UU Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE) Nomor 19
tahun 2016 mengontrol hak berpendapat masyarakat.
Sering
terjadinya kerancuan penyamaan dalil pencemaran nama baik dan ujaran
kebencian dalam Surat Edaran Kapolri SE/6/X/2015 dengan UU ITE Pasal 27
ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2), di mana kedua poin tersebut sudah
dipisahkan. Akhirnya, seringkali berakibat pada pemrosesan para pelaku
ujaran kebencian tidak tuntas dan melahirkan bibit baru
.
Terbukti dengan adanya kasus Saracen
yang
memiliki jaringan hingga 800.000 akun untuk menyebarkan konten ujaran
kebencian SARA maupun propaganda sesuai dengan tarif mencapai 72 jutaan.
Meskipun sudah ditutup namun jaringannya masih saja menetas.
Selain
itu, merebaknya ujaran kebencian sebenarnya tidak jauh dari pengaruh
perilaku, para aktor konflik politik di level elit. Konflik politik di
level ini acapkali menular ke masyarakat. Bagaimana tidak? Politikus
sebagai intelektual dan berpengaruh di dunia virtual tidak menggunakan
kekuasaan mereka di media untuk kebaikan.
Mencari Solusi
Selaku
generasi pendukung, pengkritisi, penerima kritik, kita juga harus mampu
menjadi gudang solusi. Bagaimana agar kondusivitas kampanye media tetap
stabil dan terhindar dari maraknya konten negatif yang merajalela
seperti di perhelatan politik sebelumnya.
Hal yang dapat dilakukan pertama adalah perlunya meminimalisasi hal-hal sensitif sejak dini mungkin, seperti halnya
hoax, ujaran
kebencian, dan SARA, tidak menjadi penyulut perbincangan di masyarakat,
dengan mengulik tentang latar belakang calon untuk mendukung ataupun
menjatuhkannya.
Selain itu, tidak membiasakan diri untuk
ikut-ikutan mengomentari suatu pemberitaan tanpa konfirmasi terlebih
dahulu. Seperti mencari wacana yang berupa fakta, hingga pencarian
sumber pemikiran yang kritis dan terpercaya sebagai tandingannya.
Karena jika keliru dalam berargumen, bukankah nantinya diri pribadi pula
yang akan malu.
Kemudian, persoalan literasi masyarakat yang
masih harus terus dibenahi. Karena minimya tingkat literasi seseorang
akan memperlebar risiko yang diambil. Sumber literasi tak selamanya
harus bersumber dari buku, melainkan juga bisa dari sumber beita
online di media yang ralevan, terpercaya, dan memiliki disiplin verifikasi.
Pemerintah
daerah selaku pemangku sekaligus pemilik kepentingan, dalam hal ini
juga harus berperan proaktif dalam pencegahan kampanye hitam (
black campaign) yang
bernuansa kebencian. Pemerintah harus mampu membendung dan menjadi
wadah guna menampung aspirasi masyarakat, dan sekaligus menjadi lumbung
solusi.
Masyarakat yang merasa diapresisasi dan diperhatikan,
tentu dengan penuh kesadaran diri akan menganggap aparatur pemerintah
itu memang hadir untuk rakyat. Sehingga pada kelanjutannya akan
memunculkan rasa sinergitas
“bottom up”. Kesadaran melek literasi dan partisipasi pelaporan dari masyarakat kepada pihak pengayomnya (pemerintah).
Selain
sinergitas, pemerintah juga perlu menerjunkan tim siber guna mengawal
langsung di masyarakat. Ataupun mempersiapkan tim-tim khusus, seperti
satgas pasukan
Anti Black Campaign atau sering disebut ABC. Dan, tidak lupa untuk menggalakkan patroli dan siskamling media sosial di dunia maya.
Kita
pun perlu mengapresiasi kinerja pemerintah, yang tidak dimungkiri
selalu berusaha untuk meredam hal tersebut. Negara telah meminta para
provider
media sosial seperti Facebook, Twitter, Blog, Telegram, Instagram,
Path, dan sejenisnya, untuk mengawal setiap penyebaran konten yang ada
di media bentukannya atau mencabut izin operasinya.
Tidak hanya
itu, pemerintah juga bekerja sama dengan Badan Intelejen Negara,
membentuk Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), hingga Kementerian
Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk mengawasi dan memblokir
situs yang mengandung unsur SARA, ujaran kebencian
, radikal, dan merugikan yang dapat menggulingkan masa.
Nah, ujaran kebencian
pada
nyatanya memang sesuatu yang renyah untuk dinikmati. Bagaimana tidak?
Sensasi kerenyahan yang ditawarkan menjadikan orang rela menutup mata,
telinga, menyerang, dan mengorbankan pondasi relasi yang telah
dibangunnya.
Tidak hanya sajian yang nikmat dalam sebuah
permainan, namun juga sesuatu yang dapat menyulut kobaran keuntungan di
tengah gejolak itu sendiri. Oleh karena itu, sensasi yang renyah akan
lebih gurih dan bermanfaat bagi masyarakat. Itu apabila ujaran yang
ditebarkan beralih isi dengan konten kebaikan untuk sebuah pembangunan
karakter bangsa, bukan menjatuhkannya.
Ayo menjadi bagian dari generasi perubahan yang menjaga lisan dan tahu aturan. (R.T.J)