Sabtu, 26 Mei 2018

Kerenyahan “Hate Speech” di Tahun Politik (R.T.J)

 

Kerenyahan “Hate Speech” di Tahun Politik

TAHUN politik telah tiba. Semua elemen yang berkepentingan sibuk menyambutnya, tak terkecuali tim pemenangan masing-masing kandidat kepala daerah. Di samping penggodokan program kerja yang hampir matang untuk disajikan, penggorengan isu pun bisa dikata sudah sampai pada tahap “pemanasan minyak”.
Salah satu hasil renyah untuk disajikan adalah isu yang berkaitan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Isu yang marak bertebaran di media sosial tersebut menjadi salah satu sorotan dari dinamika politik pada 2017 di DKI Jakarta. Sebuah strategi yang ditengarai turut menjadi bagian dari faktor keberhasilan salah satu kandidat.
Ketika itu, banyak meme maupun foto editan yang berbau SARA membanjiri media sosial. Muaranya, masyarakat tersulut perdebatan pro dan kontra. Bahkan hasil dari renyahnya isu SARA itu melahirkan hasil akhir yang cukup mencengangkan. Hasil yang berbading terbalik dari dugaan masyarakat pada umumnya.
Memang, tidak ada yang secara tegas menyatakan bahwa kemenangan salah satu pasangan calon tersebut merupakan keberhasilan memainkan isu SARA dan atau ujaran kebencian di media sosial. Namun, keberhasilan dari strategi tersebut lebih dikarenakan manipulasi latar belakang salah satu calon yang berbeda keyakinan dari mayoritas di Indonesia.
Kondisi politik kebencian berbasis identitas tersebut, menurut pengamat politik dari Exposit Strategic, Arif Sutanto, dikhawatirkan menjadi preseden buruk yang dapat membelah masyarakat pada tahun politik 2018 dan 2019. Apalagi, saat ini media sosial menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan menuju kursi RI 1.
Berdasarkan riset We Are Social dan Hootsuite 2017, pengguna internet di Indonesia tumbuh 51% dalam kurun satu tahun dengan presentase tertinggi di Pulau Jawa. Berdasarkan data tersebut, bukan tidak mungkin skala penggorengan isu ujaran kebencian di media sosial akan bertambah besar pada perebutan kursi nomor satu di Pulau Jawa 2018.
Penyebaran ini, tentu tidak mungkin dilakukan langsung oleh sang tokoh, namun melalui tangan orang lain yang membantunya. Suatu kondisi yang membuat seseorang kucing-kucingan dari pribadinya sendiri. Pepatah Jawa mengatakan “Nabok nyilah tangan”,  yang berarti memukul dengan menggunakan tangan orang lain.
Menyikapi kondisi itu, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) pun menambahakan ujaran kebencian di media sosial sebagai salah satu indikator Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2017 yang belum tertuang dalam IKP 2016. Karena perlu disadari bahwa suhu kondusivitas akan semakin tinggi pada tahap pra hingga pasca perhelatan politik digelar.
Sebenarnya, tren kampanye berbasis media sosial sudah dimulai pada pemilihan presiden tahun 2014 silam, yakni dengan kandidat Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Pada saat itu iklim media sosial di Indonesia sedang memasuki masa subur karena media sosial sudah dianggap sebagai rumah kedua bagi siapa pun yang memiliki akun.
Media sosial juga dapat dimanfaatkatkan untuk mendulang dukungan suara, pro, maupun kontra. Ajang saling memuji namun juga untuk mencaci, serang komentar, bahkan melakukan bullying (merundung) antarpendukung calon A, B, ataupun C.
Tentu, iklim politik kini akan jauh berbeda dari era pemilu yang memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2009, di mana keberadaan media sosial tidak begitu berpengaruh banyak.
Meski demikian, dampak yang ditimbulkan dari tindakan tersebut tidak hanya mandek sebelum dan tepat perhelatan saja, namun berimbas hingga jauh setelah acara usai.  Salah satu contohnya adalah masih tertinggalnya persepsi tentang “anti calon A, B, ataupun C”. Apapun tindakan yang dilakukan akan dianggap sebagai sebuah pencitraan dan kelalaian.
Bagi mereka yang diterpa isu, salah satu dampak negatif dari hal tersebut adalah ketakutan dan malu menunjukkan diri di muka umum. Hal ini justru malah memperlicin celah oknum radikal untuk melakukan doktrinasi.
Secara psikologis, ketakutan akan membentuk pribadi masyarakat yang mudah berburuk sangka dan reaktif. Tentu nantinya akan mudah dimasuki doktrin. Karena ketakutan itulah yang membuat orang mau melakukan apa saja. Termasuk bertindak radikal dan mengancam, entah sebab tunduk terdesak atau kebingungan mengikuti arus yang orang lain sarankan.
Sungguh hal ini sangat megkhawatirkan bagi kader masa depan bangsa, apabila tradisi ini terus bergulir dari generasi ke generasi, yang kian hari diiringi berbagai kemajuan teknologi. Sayangnya, tindakan ini pun sudah mulai menjakit di berbagai kalangan, termasuk pada kaum intelektual.
Seperti kasus Siti Sundari (51 tahun) yang seorang dokter. Ia di akun Facebook Gusti Sikumbang telah ditangkap oleh Tim Cyber Bareskrim Mabes Polri karena menyebarkan meme SARA yang memuat ujaran kebencian terhadap Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto pada Desember 2017 silam.
Jika disadari, kasus ini merupakan salah satu akibat dari minimnya program penyadaran literasi media digital dan klarifikasi berita kepada masyarakat. Seseorang dengan latar belakang pendidikan tinggi pun tidak menjamin bahwa ia memahami delik pencemaran nama baik dan ujaran kebencian bernuansa SARA.
Literasi yang dimaksud berupa pengetahuan yang memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang konten apa saja yang berpotensi melanggar hukum dan tidak. Agar tidak selalu menganggap berita yang pertama dibaca sebagai sumber informasi yang paling benar, tanpa terlebih dulu mengonfirmasi dari sumber lainnya.
Di samping itu, kondisi tersebut diperkeruh dengan hadirnya agen yang seenaknya sendiri menyebar konten negatif sesuai kepentingan pemesan. Lagi-lagi, sebagai akibat ketidakjelasan penegakkan hukum dan rentannya aturan. Utamanya UU Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE) Nomor 19 tahun 2016 mengontrol hak berpendapat masyarakat.
Sering terjadinya kerancuan penyamaan dalil pencemaran nama baik dan ujaran kebencian dalam Surat Edaran Kapolri SE/6/X/2015 dengan UU ITE Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2), di mana kedua poin tersebut sudah dipisahkan. Akhirnya, seringkali berakibat pada pemrosesan para pelaku ujaran kebencian tidak tuntas dan melahirkan bibit baru.
Terbukti dengan adanya kasus Saracen yang memiliki jaringan hingga 800.000 akun untuk menyebarkan konten ujaran kebencian SARA maupun propaganda sesuai dengan tarif mencapai 72 jutaan. Meskipun sudah ditutup namun jaringannya masih saja menetas.
Selain itu, merebaknya ujaran kebencian sebenarnya tidak jauh dari pengaruh perilaku, para aktor konflik politik di level elit. Konflik politik di level ini acapkali menular ke masyarakat. Bagaimana tidak? Politikus sebagai intelektual dan berpengaruh di dunia virtual tidak menggunakan kekuasaan mereka di media untuk kebaikan.
Mencari Solusi
Selaku generasi pendukung, pengkritisi, penerima kritik, kita juga harus mampu menjadi gudang solusi. Bagaimana agar kondusivitas kampanye media tetap stabil dan terhindar dari maraknya konten negatif yang merajalela seperti di perhelatan politik sebelumnya.
Hal yang dapat dilakukan pertama adalah perlunya meminimalisasi hal-hal sensitif sejak dini mungkin, seperti halnya hoax, ujaran kebencian, dan SARA, tidak menjadi penyulut perbincangan di masyarakat, dengan mengulik tentang latar belakang calon untuk mendukung ataupun menjatuhkannya.
Selain itu, tidak membiasakan diri untuk ikut-ikutan mengomentari suatu pemberitaan tanpa konfirmasi terlebih dahulu. Seperti mencari wacana yang berupa fakta, hingga pencarian sumber  pemikiran yang kritis dan terpercaya sebagai tandingannya. Karena jika keliru dalam berargumen, bukankah nantinya diri pribadi pula yang akan malu.
Kemudian, persoalan literasi masyarakat yang masih harus terus dibenahi. Karena minimya tingkat literasi seseorang akan memperlebar risiko yang  diambil. Sumber literasi tak selamanya harus bersumber dari buku, melainkan juga bisa dari sumber beita online di media yang ralevan, terpercaya, dan memiliki disiplin verifikasi.
Pemerintah daerah selaku pemangku sekaligus pemilik kepentingan, dalam hal ini juga harus berperan proaktif  dalam pencegahan kampanye hitam (black campaign) yang bernuansa kebencian. Pemerintah harus mampu membendung dan menjadi wadah guna menampung aspirasi masyarakat, dan sekaligus menjadi lumbung solusi.
Masyarakat yang merasa diapresisasi dan diperhatikan, tentu dengan penuh kesadaran diri akan menganggap aparatur pemerintah itu memang hadir untuk rakyat. Sehingga pada kelanjutannya akan memunculkan rasa sinergitas “bottom up”. Kesadaran melek literasi dan partisipasi pelaporan dari masyarakat kepada pihak pengayomnya (pemerintah).
Selain sinergitas, pemerintah juga perlu menerjunkan tim siber guna mengawal langsung di masyarakat. Ataupun mempersiapkan tim-tim khusus, seperti satgas pasukan Anti Black Campaign atau sering disebut ABC. Dan, tidak lupa untuk menggalakkan patroli dan siskamling media sosial di dunia maya.
Kita pun perlu mengapresiasi kinerja pemerintah, yang tidak dimungkiri selalu berusaha untuk meredam hal tersebut. Negara telah meminta para provider media sosial seperti Facebook, Twitter, Blog, Telegram, Instagram, Path, dan sejenisnya, untuk mengawal setiap penyebaran konten yang ada di media bentukannya atau mencabut izin operasinya.
Tidak hanya itu, pemerintah juga bekerja sama dengan Badan Intelejen Negara, membentuk Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), hingga Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk mengawasi dan memblokir situs yang mengandung unsur SARA, ujaran kebencianradikal, dan merugikan yang dapat menggulingkan masa.
Nah, ujaran kebencian pada nyatanya memang sesuatu yang renyah untuk dinikmati. Bagaimana tidak? Sensasi kerenyahan yang ditawarkan menjadikan orang rela menutup mata, telinga, menyerang, dan mengorbankan pondasi relasi yang telah dibangunnya.
Tidak hanya sajian yang nikmat dalam sebuah permainan, namun juga sesuatu yang dapat menyulut kobaran keuntungan di tengah gejolak itu sendiri. Oleh karena itu, sensasi yang renyah akan lebih gurih dan bermanfaat bagi masyarakat. Itu apabila ujaran yang ditebarkan beralih isi dengan konten kebaikan untuk sebuah pembangunan karakter bangsa, bukan menjatuhkannya.
Ayo menjadi bagian dari generasi perubahan yang menjaga lisan dan tahu aturan. (R.T.J)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar