Kerja
Bersama Menjaga Persaudaraan dari
Rekruitmen
Radikalime Ala Bang Natsir
Marakya
pemanfaatan media sosial oleh oknum berkepentingan sebagai salah satu sarana
penyebar kebencian dan perekruitan kelompok radikal maupun teroris sangat
merugikan serta perlu diwaspadai. Hal ini dikarenakan seringkali mendoktrin
berbagai pihak termasuk orang yang belum memiliki bekal pengetahuan agama yang
kuat.
Berbagai
kerusuhan pun pernah terjadi di Indonesia akibat propaganda perbedaan, baik
agama hingga suku, ras dan budaya. Seperti kerusuhan yang terjadi di daerah
rawan konflik yang biasanya dipicu akibat kesalahpahaman dan perbedaan
kepercayaan. Contohnya peristiwa pengeboman di Gereja Samarinda akhir tahun
2016 lalu dan berbagai kerusuhan lain juga ada yang terjadi akibat propaganda
kelompok teroris dan radikal yang ingin memecah belah NKRI.
Dari
setiap peristiwa tentunya menimbukan dampak, seperti halnya kejadian ini yang
telah menimbulkan ketakutan atau traumatik tersendiri bagi generasi muda dan
masyarakatnya. Meski mereka telah pergi untuk bekerja atau menuntut ilmu di
luar daerah sekalipun, rasa takut itu tetap saja menghantui. Tentu,
permasalahan seperti ini harus dijadikan pelajaran dan koreksi bersama, bahwa perbedaan
bukanlah pemecah persaudaraan.
Oleh
karen itu, guna menyikapi kegelisahan rekan pelajar dari daerah tersebut yang
tengah belajar di Pulau Jawa khususnya Jawa Tengah. Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) Jawa Tengah, DIY berdiskusi dan berkerjasama dengan Polisi Daerah Jawa
Tengah. Guna memberikan perlindungan dan rasa aman kepada masyarakat pendatang,
sekaligus bersinergi untuk menggencarkan pencegahan potensi radikalisme dan
terorisme di Jawa Tengah sendiri.
Hingga
tercetuslah ide untuk mengadakan Fokus Group Discussion melalui kerjasama
antara Polda Jawa Tengah dengan Badan Koordinasi HMI Jateng dan DIY. Acara disalah satu kota di Jateng yang bertemakan Kita Tingkatkan Upaya Pencegahan
Berkembangnya Radikalisme dan Terorisme di Wilayah Jawa Tengah ini, diikuti oleh anggota Himpunan Mahasiswa
Islam Jateng, DIY, KAMMI, dan perwakilan pelajar maupun ketua Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) Universitas di Jawa Tengah. Selain itu, juga hadir Dandan F.H
dan Dwiyono Wahyu mewakili Forum Koordinasi Penanggulangan Terorisme (FKPT)
Jawa Tengah beserta perwakilan Duta Damai Dunia Maya BNPT Semarang.
Dalam
diskusi tersebut membahas mengenai isu, permasalahan, dan utamanya proses
perkembangan penyebaran potensi radikalisme di Jawa Tengah, Indonesia maupun
mancanegara. Ditemui pada acara yang sama Natsir Abas selaku narasumber
sekaligus alumni Akademi Militer Afganistan. Memberikan penjelasan tentang apa
sebenarnya hakikat kerja bersama untuk menjaga saudara-saudara kita dari
potensi perekrutan kelompok radikalisme dan terorisme. Maka beliau memaparkan
apa saja pola dan proses prekrutan yang dilakukan kelompok teroris untuk
mendapatkan masa dan melancarkan aksinya.
Pertama,
menurut Agus dalam Deradikalisasi
Nusantara (2015:118), “Tren yang juga tak bisa diabaikan adalah bahwa
penyebaran kebencian atas nama agama dan keyakinan yang berbeda menguat di
berbagai daerah dan media sosial.” Tren
yang dikemukakan Agus di atas menurut pemaparan Natsir Abas termasuk
dalam golongan pola penyebaran terorisme secara tidak langsung, karena tidak
bertatap muka melainkan menikmati konten apa yang telah disajikan menurut
pandangan mereka. Tentunya proses penyebaran paham ini, dengan menggunakan
media perantara. Seperti media cetak, elektronik dan internet baik situs maupun
blog. Melalui cara ini, seseorang bisa saja terpengaruh tanpa pernah ikut kelompok ataupun
organisasi masyarakat tertentu. Dikarenakan proses penafsiran dan pemahaman
setiap individu yang berbeda bergantung cukup atau masih kurangnya dasar
pengetahuan agama dan umum yang dimilki.
Selain
pola tidak langsung, juga terdapat pola penyebaran secara langsung yakni
penyebaran paham dengan bertatap muka atau bertemu langsung. Diantaranya diawali
dari kegiatan seperti pertemuan tertutup dengan sesorang atau kelompok yang
dibalut dalam kegiatan kajian agama atau sering disebut kajian eksklusif. Yang
nantinya berujung pada pendoktrinan, dan memerintahkan agar mengajak orang-orang
terdekat untuk bergabung. Dengan memanfaatkan hubungan kekerabatan seperti antara
guru dan murid, pertemanan, dan tentu saja hubungan kekeluargaan, maupun lawan
jenis. Bisa saja, karena kepatuan seperti halnya hubungan antara majikan dan
karyawan, atau atasan dan bawahan. Bahkan dalam kasus ini, bukan tidak mungkin terdapat
keterlibatan langsung orang
dalam kantor atau perusahaan.
Pola-pola
tersebut tentu harus kita waspadai, jangan sampai orang terdekat kita maupun
lingkungan kita tergoda untuk bergabung pada kelompok radikalisme bahkan
terorisme yang berembel-embel perjuangan membela agama maupun negara. Pada
kesempatan tersebut, Natsir Abas yang
juga mantan Instruktur Senjata AKMIL Mujahidin Afghanistan 1990 – 1993 dan
sekarang menjabat sebagai Konsultan Penelitian Pusat Riset – UI . Mengemukakan
bahwa ada beberapa hal yang perlu diwaspadai dan diketahui oleh masyarakat
mengenai proses prekrutan kelompok radikal.
Pertama,
yaitu diawali dari mencuci mind site atau brain washing dengan menyamakan persepsi soal ‘musuh’. Mengartikan bahwa orang yang berbeda dari
segi kepercayaan, pedoman dan paham yang dianut, dalam hal ini adalah tidak mengikuti
paham Islam sesuai kepercayaan mereka, maka dianggap kafir dan halal untuk
dibunuh atau dimusuhi. Apabila di Indonesia sendiri, kelompok radikal sering
mengkafirkan bahkan menganggap paham Pancasila adalah thougut. Padahal
Pancasila memang sudah menjadi kesepakatan dan dasar negara yang dicetuskan
bersama yang berlatar belakang perbedaan.
Kedua,
dengan menimbulkan rasa
kebencian pada sesama. Biasanya dengan mengangkat topik
permasalahan yang tengah hangat diperbincangkan oleh masyarakat. Kemudian si
sasaran tembak diberikan pertanyaan bagaimanakah pendapatnya mengenai
permasalah tersebut. Nah, ketika terjadi kebingungan itulah mereka mulai
memasukkan pendapat dan doktrin yang mengatas namakan dalil agama atau perintah
Tuhan.
Selanjutnya
mereka membumbuinya dengan obrolan atau diskusi isu terkini atau isu lama soal
kekejaman dan ketidak adilan yang di terima umat. Bukan
tidak mungkin dalam kajian tersebut menyalahkan pihak tertentu dan menciptakan
persepsi bahwa mereka adalah penghalang jalan untuk melangkah atau biasanya
disini yang diangga penghalang yaitu aparat penegak hukum. Tentunya akan timbul
permasalahan selanjutnya yang memang bertujuan untuk membangkitkan rasa
kemarahan akan sesamanya, tanpa melihat lebih jauh latar belakang permasalahan
sebenarnya.
Di
sisi lain, hal ini diperkuat dengan pengakuan pengorbanan dan kegiatan kelompok terorisme
dan radikalisme melalui rekaman video. Atau bisa juga melalui foto tempat terjadinya
konflik yang terkadang memang sudah direkayasa kebenarannya. Kelima, proses
prekrutan bisa saja terjadi dengan ajakan sepele, yakni membaca-baca artikel atau
majalah bahkan buku soal “perjuangan” yang didisign semenarik mungkin dengan
konten yang mempropaganda keadaan
sosial, hukum negara bahkan agama.
Kegiatan
sederhana yang dapat berujung fatal lainnya, yakni browsing atau iseng mencari-cari situs internet yang mendukung pemahaman kekerasan.
Atau mengikuti diskusi chatting di dunia maya dengan anggota yang memiliki
persamaan faham dan menolak faham diluarnya. Aktivitas-aktivitas sederhana
seperti ini, dikhawatirkan akan semakin menambah keyakinan sesorang tentang
faham radikal yang dapat berujung pada aksi terorisme dan tentunya dapat
merugikan bahkan mengancam keselamatan orang lain.
Selain
itu, Natsir pun memberikan dukungan kepada generasi muda Indonesia, agar tetap
semangat dan tidak goyah untuk mempertahankan Pancasila yang sudah sesuai
dengan nilai luhur serta kepribadian bangsa Indonesia. Jangan sampai tergiur
dengan modus pengkaderan melalui sosialisasi
nilai-nilai dalam kegiatan agama. Tidak terpengaruh dengan himbauan perubahan
dari pro-pemerintah (atau masyarakat mayoritas) menjadi kontra pemerintah (sebagai
pihak yang menentang kebijakan pemerintah), dan. Tidak tergiurkan dengan
tawaran, seperti mengajak bertemu dengan seseorang dari luar negeri, berangkat
ke Suriah, menawarkan bantuan mencari kerja ternyata melibatkan dalam acara
pertemuan eksklusif, mengadakan kegiatan belajar bersama ternyata pertemuan
keagamaan yang eksklusif.
Nah,
maka dari itu kita sebagai generasi muda Indonesia, harus menjadi genearsi
milenial yang cerdas dan berbudaya. Selektif dalam memilih dan memilah konten
di dunia maya. Jadikanlah konfirmasi dan tabayun sebagai kebiasaan. Tidak lupa,
diakhir pemaparannya Natsir Abas berpesan sekaligus mengingatkan kepada peserta
bahwa “Indonesia (NKRI) adalah Negara yang
Baik dan Sah bagi Umat Islam”.
(R.T.J)
Silahkan bagi yang ingin memberikan saran dan
kmentar untuk mendukung proses belajar penulis, bisa melalui kolom komentar
dibawah ini.
Jangan lupa, Tips Menghindari Rakruitmen Radikalisme dan
Terorisme Ala Bang Natsir Bakalan Comming soon nih,