Rabu, 09 Agustus 2017

Kerja Bersama Menjaga Persaudaraan dari Rekruitmen Radikalime Ala Bang Natsir





Kerja Bersama Menjaga Persaudaraan dari
Rekruitmen Radikalime Ala Bang Natsir


Marakya pemanfaatan media sosial oleh oknum berkepentingan sebagai salah satu sarana penyebar kebencian dan perekruitan kelompok radikal maupun teroris sangat merugikan serta perlu diwaspadai. Hal ini dikarenakan seringkali mendoktrin berbagai pihak termasuk orang yang belum memiliki bekal pengetahuan agama yang kuat.
Berbagai kerusuhan pun pernah terjadi di Indonesia akibat propaganda perbedaan, baik agama hingga suku, ras dan budaya. Seperti kerusuhan yang terjadi di daerah rawan konflik yang biasanya dipicu akibat kesalahpahaman dan perbedaan kepercayaan. Contohnya peristiwa pengeboman di Gereja Samarinda akhir tahun 2016 lalu dan berbagai kerusuhan lain juga ada yang terjadi akibat propaganda kelompok teroris dan radikal yang ingin memecah belah NKRI. 
Dari setiap peristiwa tentunya menimbukan dampak, seperti halnya kejadian ini yang telah menimbulkan ketakutan atau traumatik tersendiri bagi generasi muda dan masyarakatnya. Meski mereka telah pergi untuk bekerja atau menuntut ilmu di luar daerah sekalipun, rasa takut itu tetap saja menghantui. Tentu, permasalahan seperti ini harus dijadikan pelajaran dan koreksi bersama, bahwa perbedaan bukanlah pemecah persaudaraan.
Oleh karen itu, guna menyikapi kegelisahan rekan pelajar dari daerah tersebut yang tengah belajar di Pulau Jawa khususnya Jawa Tengah. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jawa Tengah, DIY berdiskusi dan berkerjasama dengan Polisi Daerah Jawa Tengah. Guna memberikan perlindungan dan rasa aman kepada masyarakat pendatang, sekaligus bersinergi untuk menggencarkan pencegahan potensi radikalisme dan terorisme di Jawa Tengah sendiri.
Hingga tercetuslah ide untuk mengadakan Fokus Group Discussion melalui kerjasama antara Polda Jawa Tengah dengan Badan Koordinasi HMI Jateng dan DIY. Acara  disalah satu kota di Jateng yang bertemakan Kita Tingkatkan Upaya Pencegahan Berkembangnya Radikalisme dan Terorisme di Wilayah Jawa Tengah  ini, diikuti oleh anggota Himpunan Mahasiswa Islam Jateng, DIY, KAMMI, dan perwakilan pelajar maupun ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas di Jawa Tengah. Selain itu, juga hadir Dandan F.H dan Dwiyono Wahyu mewakili Forum Koordinasi Penanggulangan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah beserta perwakilan Duta Damai Dunia Maya BNPT Semarang.
Dalam diskusi tersebut membahas mengenai isu, permasalahan, dan utamanya proses perkembangan penyebaran potensi radikalisme di Jawa Tengah, Indonesia maupun mancanegara. Ditemui pada acara yang sama Natsir Abas selaku narasumber sekaligus alumni Akademi Militer Afganistan. Memberikan penjelasan tentang apa sebenarnya hakikat kerja bersama untuk menjaga saudara-saudara kita dari potensi perekrutan kelompok radikalisme dan terorisme. Maka beliau memaparkan apa saja pola dan proses prekrutan yang dilakukan kelompok teroris untuk mendapatkan masa dan melancarkan aksinya.
Pertama, menurut Agus dalam Deradikalisasi Nusantara (2015:118), “Tren yang juga tak bisa diabaikan adalah bahwa penyebaran kebencian atas nama agama dan keyakinan yang berbeda menguat di berbagai daerah dan media sosial.” Tren  yang dikemukakan Agus di atas menurut pemaparan Natsir Abas termasuk dalam golongan pola penyebaran terorisme secara tidak langsung, karena tidak bertatap muka melainkan menikmati konten apa yang telah disajikan menurut pandangan mereka. Tentunya proses penyebaran paham ini, dengan menggunakan media perantara. Seperti media cetak, elektronik dan internet baik situs maupun blog. Melalui cara ini, seseorang bisa saja terpengaruh tanpa pernah ikut kelompok ataupun organisasi masyarakat tertentu. Dikarenakan proses penafsiran dan pemahaman setiap individu yang berbeda bergantung cukup atau masih kurangnya dasar pengetahuan agama dan umum yang dimilki.
Selain pola tidak langsung, juga terdapat pola penyebaran secara langsung yakni penyebaran paham dengan bertatap muka atau bertemu langsung. Diantaranya diawali dari kegiatan seperti pertemuan tertutup dengan sesorang atau kelompok yang dibalut dalam kegiatan kajian agama atau sering disebut kajian eksklusif. Yang nantinya berujung pada pendoktrinan, dan memerintahkan agar mengajak orang-orang terdekat untuk bergabung. Dengan memanfaatkan hubungan kekerabatan seperti antara guru dan murid, pertemanan, dan tentu saja hubungan kekeluargaan, maupun lawan jenis. Bisa saja, karena kepatuan seperti halnya hubungan antara majikan dan karyawan, atau atasan dan bawahan. Bahkan dalam kasus ini, bukan tidak mungkin terdapat keterlibatan langsung orang dalam kantor atau perusahaan.
Pola-pola tersebut tentu harus kita waspadai, jangan sampai orang terdekat kita maupun lingkungan kita tergoda untuk bergabung pada kelompok radikalisme bahkan terorisme yang berembel-embel perjuangan membela agama maupun negara. Pada kesempatan tersebut, Natsir  Abas yang juga mantan Instruktur Senjata AKMIL Mujahidin Afghanistan 1990 – 1993 dan sekarang menjabat sebagai Konsultan Penelitian Pusat Riset – UI . Mengemukakan bahwa ada beberapa hal yang perlu diwaspadai dan diketahui oleh masyarakat mengenai proses prekrutan kelompok radikal.
Pertama, yaitu diawali dari mencuci mind site atau brain washing dengan menyamakan persepsi soal ‘musuh’. Mengartikan bahwa orang yang berbeda dari segi kepercayaan, pedoman dan paham yang dianut, dalam hal ini adalah tidak mengikuti paham Islam sesuai kepercayaan mereka,  maka dianggap kafir dan halal untuk dibunuh atau dimusuhi. Apabila di Indonesia sendiri, kelompok radikal sering mengkafirkan bahkan menganggap paham Pancasila adalah thougut. Padahal Pancasila memang sudah menjadi kesepakatan dan dasar negara yang dicetuskan bersama yang berlatar belakang perbedaan.
Kedua, dengan menimbulkan rasa kebencian pada sesama. Biasanya dengan mengangkat topik permasalahan yang tengah hangat diperbincangkan oleh masyarakat. Kemudian si sasaran tembak diberikan pertanyaan bagaimanakah pendapatnya mengenai permasalah tersebut. Nah, ketika terjadi kebingungan itulah mereka mulai memasukkan pendapat dan doktrin yang mengatas namakan dalil agama atau perintah Tuhan.   
Selanjutnya mereka membumbuinya dengan obrolan atau diskusi isu terkini atau isu lama soal kekejaman dan ketidak adilan yang di terima umat.  Bukan tidak mungkin dalam kajian tersebut menyalahkan pihak tertentu dan menciptakan persepsi bahwa mereka adalah penghalang jalan untuk melangkah atau biasanya disini yang diangga penghalang yaitu aparat penegak hukum. Tentunya akan timbul permasalahan selanjutnya yang memang bertujuan untuk membangkitkan rasa kemarahan akan sesamanya, tanpa melihat lebih jauh latar belakang permasalahan sebenarnya.
Di sisi lain, hal ini diperkuat dengan pengakuan  pengorbanan dan kegiatan kelompok terorisme dan radikalisme melalui rekaman video. Atau bisa juga melalui foto tempat terjadinya konflik yang terkadang memang sudah direkayasa kebenarannya. Kelima, proses prekrutan bisa saja terjadi dengan ajakan sepele, yakni membaca-baca artikel atau majalah bahkan buku soal “perjuangan” yang didisign semenarik mungkin dengan konten yang mempropaganda  keadaan sosial, hukum negara bahkan agama.
Kegiatan sederhana yang dapat berujung fatal lainnya, yakni browsing atau iseng mencari-cari situs internet yang mendukung pemahaman kekerasan. Atau mengikuti diskusi chatting di dunia maya dengan anggota yang memiliki persamaan faham dan menolak faham diluarnya. Aktivitas-aktivitas sederhana seperti ini, dikhawatirkan akan semakin menambah keyakinan sesorang tentang faham radikal yang dapat berujung pada aksi terorisme dan tentunya dapat merugikan bahkan mengancam keselamatan orang lain.
Selain itu, Natsir pun memberikan dukungan kepada generasi muda Indonesia, agar tetap semangat dan tidak goyah untuk mempertahankan Pancasila yang sudah sesuai dengan nilai luhur serta kepribadian bangsa Indonesia. Jangan sampai tergiur dengan modus pengkaderan melalui sosialisasi nilai-nilai dalam kegiatan agama. Tidak terpengaruh dengan himbauan perubahan dari pro-pemerintah (atau masyarakat mayoritas) menjadi kontra pemerintah (sebagai pihak yang menentang kebijakan pemerintah), dan. Tidak tergiurkan dengan tawaran, seperti mengajak bertemu dengan seseorang dari luar negeri, berangkat ke Suriah, menawarkan bantuan mencari kerja ternyata melibatkan dalam acara pertemuan eksklusif, mengadakan kegiatan belajar bersama ternyata pertemuan keagamaan yang eksklusif.
Nah, maka dari itu kita sebagai generasi muda Indonesia, harus menjadi genearsi milenial yang cerdas dan berbudaya. Selektif dalam memilih dan memilah konten di dunia maya. Jadikanlah konfirmasi dan tabayun sebagai kebiasaan. Tidak lupa, diakhir pemaparannya Natsir Abas berpesan sekaligus mengingatkan kepada peserta bahwa “Indonesia (NKRI) adalah Negara yang Baik dan Sah bagi Umat Islam”. (R.T.J)
Silahkan bagi yang ingin memberikan saran dan kmentar untuk mendukung proses belajar penulis, bisa melalui kolom komentar dibawah ini.
Jangan lupa,  Tips Menghindari Rakruitmen Radikalisme dan Terorisme Ala Bang Natsir Bakalan  Comming soon nih,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar