“Laboratorium
Keberagaman” Itu Bernama Perguruan Tinggi
Pemerintah berencana membubarkan HTI karena dinilai
meresahkan masyarakat. Organisasi masyarakat itu juga dinilai tidak memberi
kontribusi terhadap pembangunan bangsa. Kegiatan HTI itu dinilai meresahkan dan
dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena tidak
sesuai dengan Pancasila. Selain itu, aktivitas yang dilakukan telah banyak
menimbulkan benturan di tengah masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan
ketertiban masyarakat Indonesia.
Namun keputusan tersebut menuai reaksi keras dari
organisasi tersebut. Salah satunya yakni penolakan untuk berhenti menyuarakan tujuan
mereka berdakwah. Selain itu, HTI juga menyatakan dan menegaskan akan
melanjutkan aktivitasnya termasuk berdakwah di kampus serta di tengah
masyarakat. Pernyataan tersebut langsung disampaikan oleh Juru Bicara HTI
Ismail Yusanto. Seperti yang telah dilansir detik.com, “Kita akan
lanjutkan (kegiatan dakwah). Bukan hanya di kampus , dakwah dimana saja bisa dilakukan
,” tegas juru bicara HTI Ismail Yusanto di Kantor HTI Tebet Jakarta Selatan,
Senin (8/5/2017).
Tentu dari pernyataan tersebut perlu digarisbawahi
oleh para pimpinan birokrasi dan masyarakat kampus di universitas seluruh
Indonesia. Di mana seharusnya mereka memberikan pengawasan yang lebih ketat
terhadap ormas yang akan masuk dan beraktivitas di dalam lingkungan kampus.
Jangan sampai menyalahi nilai-nilai keberagaman yang harus dijunjung tinnggi
oleh perguruan tinggi.
Apalagi memberikan peluang besar kepada HTI yang
menentang keberagaman tersebut dan khususnya menyasar pada program studi eksata. Karena menurut
Ketua Pengurus Cabang NU Jember KH Abdullah Syamsul Arifin atau Gus Aab menilai
(kalangan mahasiwwa eksata) banyak mendapatkan transformasi keilmuan di bidang
agama lebih pada proses instan, seperti e-learning atau halaqoh, yang tidak
berangkat dari dasar pengetahuan itu sendiri yang banyak dipelajari di
pesantren.
Tentu apabila dibiarkan akan membahayakan kehidupan
sosial pendidikan di kampus. Selain itu, pihak kampus juga seharusnya mengawasi
penyebaran ideologi tertentu yang berkembang di lingkungan kampus, yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip Dasar Negara yakni Empat Pilar Kebangsaan
(Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI). Kampus harus bersih dari
organisasi keormasan, haruslah netral, menjunjung nilai dan tidak sentral pada
agama atau ideologi tertentu.
Oleh karena itu, birokrasi kampus harus mendeteksi
paham radikal yang muncul di lingkungan kampus. Kampus tidak boleh diam saja
setelah mengetahui bibit radikalisme dan harus segera bekerja sama melakukan
tindakan, dengan menggandeng seluruh civitas akademika.
Hal itu sudah menjadi kewajiban kampus karena
berkaitan dengan kebebasan akademik untuk mengembangkan intelektualitas. Sulistyowati
Irianto dalam Otonomi Perguruan Tinggi Suatu Keniscayaan (2012:128),
menyatakan kebebasan akademik hanya bisa diperoleh dalam universitas yang
otonom. Berdasarkan kebebasan akademik tersebut, maka birokrasi kampus pun
dapat memilih maupun memilah ormas mana yang dapat masuk sesuai kriteria. Hal
itu agar kampus bersih dan terhindar dari segala unsur-unsur yang merugikan,
apalagi hingga paham terorisme dan radikalisme.
Karena perguruan tinggi seharusnya tidak boleh terlibat
dalam politik praktis dan organisasi masyarakat yang fanatik terhadap suatu
idelogi. Sebab, perguruan tinggi merupakan pusat keragaman. Selain itu,
perguruan tinggi mesti berkutat pada wilayah riset dan keilmuan sekaligus
membumikan hasilnya kepada masyarakat. Sebagai kawah candradimuka,
kampus juga menjadi tempat ideal bagi mahasiswa untuk menempa diri dan
memaksimalkan potensinya.
Namun demikian, kampus juga tidak boleh mengekang
proses demokrasi yang dijalankan oleh civitas akademika. Pemberian penghargaan
terhadap pendapat atau aspirasi juga perlu dilakukan, karena dari hal itulah
kampus akan menjadi maju dan membuat kampus lebih terbuka terhadap kritik dan
masukan. Haryatmoko dalam Etika Politik dan Kekuasaan (2014:104-105)
menyatakan bahwa, “Di Indonesia dewasa ini, kebebasan berpendapat belum menjadi
sarana utama dan eksklusif bagi tindakan politik, meskipun demokratisasi terus
bergulir. Intimidasi, ancama, pengerahan massa dan kekerasan fisik masih
menjadi sarana dominanbagi pencapaian tujuan-tujuan politik. Tetapi, bukankah
kekerasan semcam itu menghianati demokrasi itu sendiri, suatu bentuk
pemerkosaan ruang publik?” Memang, dengan memberi kebabasan berpendapat bukan
berarti bahwa lingkup publik bisa dibersihkan dari tindakan kekerasan.
Apabila ditemukan mahasiswa yang terlibat di dalam
ormas yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kebangsaan, maka kampus perlu
mengadakan pembinaan secara intensif. Jangan semakin menekannya dengan hal yang
menyudutkan, namun kampus bisa mendukung mereka agar lebih berkembang sesuai
minat dalam bidang keilmiahan, teknologi, atau pengembangan diri.
Di luar itu, pencegahan penyebaran radikalisme dan
terorisme bisa dilakukan melalui berbagai kegiatan. Seperti seminar kebangsaan,
dikusi ilmiah, sarasehan budaya dan lainnya. Mahasiswa sebagai salah satu
sasaran harus memiliki pemikiran yang lebih luas, terbuka dan tidak hanya
semata-mata berorientasi pada ideologi tertentu, tidak mudah terombang-ambing apalagi
tersulut polemik yang sengaja diciptakan pihak tertentu. Sebagai generasi
milenial, mahasiswa harus lebih cerdas dan memiliki filter-filter dari doktrin
bahkan pemikiran di luar rasional serta memihak pada ideologi tertentu. Apalagi
yang menjurus pada kegiatan radikalisme bahkan terorisme yang pastinya akan
merusak keutuhan bangsa dan masa depan pribadi.
Karena sesungguhnya kampus adalah “laboratorium
keberagaman” yang tidak memihak pada unsur suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA) dan. Di dalam kampuslah potret ideal kehidupan berbangsa, dan bernegara
itu ada. Dari kampuslah nampak masyarakat Indonesia yang plural, dengan
berbagai kekayaan dan keanekaragaman budaya, agama, bahasa hingga suku
bangsanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar